Di suatu pagi yang cerah dengan udara yang sejuk di sebuah pedesaan, seorang
ibu sedang bercengkerama dengan ketujuh anakya, kegembiraan dan kebahagiaan
serta kebersamaan terbangun dalam keluarga itu, selang beberapa saat
kemudian sang anak pertama melontarkan kalimat-kalimat bijak kepada ibunya,
Ibu…, aku memang tidak terlalu pintar dibanding teman-temanku disekolah,
tapi tolong jangan sampai engkau keluarkan kalimat BODOH untukku
Ibu…, aku memang tidak terlalu cantik / tampan dibanding anak dari
teman-taman ibu, tapi tolong jangan sampai engkau keluarkan kalimat JELEK untukku
Ibu …, aku memang tidak penurut seperti anak-anak yang lain, tapi tolong jangan sampai engkau keluarkan kalimat NAKAL untukku
Ibu…, aku memang sering khilaf melanggar aturan Agama karena
ketidakberdayaanku, tapi tolong jangan sampai engkau keluarkan kalimat DURHAKA untukku
Ibu…, sampai hari aku belum mampu membalas segala jasamu dan belum mampu
membahagiakan sebagaimana keinginanmu, tapi tolong jangan sampai keluarkan kalimat GAK TAHU DIRI untukku
Ibu…, kalau sampai hari ini aku masih sering lupa mendoakanmu karena
kesibukanku, tolong jangan hentikan air mata do’amu untukku dan jangan pula
sepatah kata laknatpun keluar dari bibirmu, Ibu itupun kemudian meneteskan air matanya, apa arti air mata ibu ini ?
Alkisah Beberapa tahun kemudian…., seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta.
Disampingnya duduk seorang ibu
yang sudah setengah baya. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.
Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta ?” tanya si
pemuda. “Oh…saya mau ke Jakarta terus “connecting flight”
ke Singapore untuk
menengok anak saya yang ke dua”, jawab ibu itu. ”Wouw… hebat sekali putra
ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.
Kalau saya tidak salah, anak yang di
Singapore tadi , putra yang kedua ya bu? Bagaimana dengan kakak dan adik-adik nya?”
”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita : ”Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang,yang keempat berkerja di perkebunan di Lampung,
yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto,
dan yang ke tujuh menjadi Dosen di sebuah perguruan
tinggi terkemuka di Semarang.””
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat
baik, dari anak kedua sampai ke tujuh. ”Terus bagaimana dengan anak pertama
ibu ?” Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja nak.
Dia menggarap sawahnya sendiri
yang tidak terlalu lebar.” kata sang Ibu.
Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu… mungkin ibu agak kecewa ya dengan
anak ibu yang pertama, karena adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses
di pekerjaannya, sedang dia menjadi seorang petani?”
Apa jawab sang ibu..???
Apakah anda ingin tahu jawabannya..???
……Dengan tersenyum ibu itu menjawab :
”Ooo …tidak, tidak begitu nak….Justru saya SANGAT SANGAT BANGGA dengan anak pertama saya,
arena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari
hasil dia bertani”… Pemuda itu terbengong….
Sahabat………, sejenak kita bertanya pada diri kita sendiri, bagaimana kondisi adik-adik kita hari ini ? bagaimana pula kakak-kakak kita ?
lalu bagaimana
pula dengan ibu dan Ayah kita…………., apa yang telah kita berikan untuk mereka,
adakah setetes air mata do’a untuk keselamatan dunia dan akhiratnya?
Hari ini ? kemarin ? atau esok ?
Sahabat………, Semua orang di dunia ini penting. Buka mata kita, pikiran kita,hati kita.
Intinya adalah kita tidak bisa membuat ringkasan sebelum kita
membaca semua peristiwa itu sampai selesai. Orang bijak berbicara
“HAL YANG
PALING PENTING DI DUNIA INI BUKAN BERTANYA TERUS SIAPA KITA ?
tetapi APA
KARYA YANG SUDAH KITA CIPTA DAN APA YANG TELAH KITA LAKUKAN UNTUK
SAUDARA-SAUDARA KITA DAN ORANG LAIN ? ”
respon
respon
respon
respon
respon
respon
respon
respon
respon
respon
respon
respon